Babancong adalah bangunan panggung berbentuk segi delapan, mempunyai delapan pilar berbentuk silinder yang menyangga atap.
Bangunannya berbentuk panggung dengan dua tangga di kanan dan kiri.
Dengan luas bangunanun mencapai kurang lebih 15 meter persegi, tinggi panggung atau kolong sekitar lebih 2 meter. Tinggi tiang sekitar 7 meter.
Berlokasi tepat di sebelah alaun-alun Garut, didepan pendopo atau rumah dinas Bupati kabupaten Garut.
Ada yang duduk santai di pertamanan, ada yang berolah raga pagi, ada yang berjualan disekitar alun-alun.
Pada hari libur, alun-alun penuh oleh masyarakat dengan segala aktifitasnya. Ada yang senam masal, ada bazar, ada segala permainan anak dan macam-macam acara yang mengesankan dan menggerakkan perekonomian masyarakat disana.
Di sebelah kanan alun-alun berdiri kokoh Masjid Agung Garut dengan bangunan khasnya, dengan menaranya yang empat buah dan kubah di tengah atap bangunan masjid.
Jaman dahulu babancong mempunyai fungsi sebagai tempat seorang bupati atau pejabat pemerintah untuk berpidato atau menyampaikan pengumuman kepada masyarakat ramai.
Sejarah mencatat bahwa Presiden pertama Republik Indonesia, bapak Ir Soekarno pernah berpidato di babancong dengan sambutan yang meriah dari ribuan warga masyarakat Garut, dan menyebut Garut Kota Intan.
Di belakang dua tangga Babancong ada bangunan pendopo, yang kini menjadi rumah dinas Bupati kabupaten Garut, dengan tamannya yang asri nan hijau.
Pembangunan pendopo Garut tidak lepas dari sejarah di bubarkannya kabupaten Limbangan oleh Jendral Daendels, pada tanggal 16 Februari 1813 diputuskan untuk membangun kembali kabupaten Limbangan. Bentuk pendopo saat itu benar-benar berciri khas bangunan eropa, perubahan-perubahan tahun-tahun berikutnya jadilah bentuk pendopo seperti sekarang ini.
Apabila melintasi Jalan A Yani Garut menuju pengkolan di sebelah kanan di pembatas jalan, akan di jumpai tulisan GARUT seperti pada gambar, diseberang sanalah alun-alun kota Garut dan disananya lagi bangunan Babancong berdiri.
Pada perayaan hari-hari besar Islam alun-alun garut juga ramai dengan kegiatan bazar yang diadakan masyarakat Garut, masyarakat bebas berkunjung dan meramaikan kegiatan-kegiatan tersebut.
Menurut ahli sejarah Garut, Deddy Effendie.
Di tempat ini dahulu merupakan arena adu maung dan munding, adu harimau dan kerbau, merupakan pesta rakyat untuk memperingati hari raya Idul Fitri.
Diperkirakan tahun 1900 an yang lalu, bupati Limbangan ( nama kabupaten sebelum menjadi Garut) kala itu RAA Wiratanudatar antara tahun 1870 M sampai dengan 1915 M selalu mengadakan adu maung dan munding setiap lebaran.
Setelah sholat id di masjid agung beliau terus ke pendopo untuk berganti baju kerajaan, lalu dengan menaiki kuda menemui residen di kantor karesidenan kemudian merayakan hari raya idul fitri dengan mengadu maung dan munding.
Maung di simpan di bawah babancong, yang kalau kita lihat saat ini di bawah babancong masih terlihat seperti bentuk kandang. Sedangkan para pembesar berada di atas babancong.
Selanjutnya maung dilepaskan ke alun-alun yang sudah ada munding di tengahnya. Setelah selesai maung kembali di masukkan kedalam kandang, di bawah babancong.
Menurut Pak Edy, saat itu masyarakat melihat adu maung tanpa pellindung pagar pengaman, mereka menonton di sekitar alun-alun dengan membawa tombak, sehingga apabila maung menerjang, tombak siap di tusukkan.
Demikian sekilas tentang babancong garut di alun-alun garut.
Pada perayaan hari-hari besar Islam alun-alun garut juga ramai dengan kegiatan bazar yang diadakan masyarakat Garut, masyarakat bebas berkunjung dan meramaikan kegiatan-kegiatan tersebut.
Menurut ahli sejarah Garut, Deddy Effendie.
Di tempat ini dahulu merupakan arena adu maung dan munding, adu harimau dan kerbau, merupakan pesta rakyat untuk memperingati hari raya Idul Fitri.
Diperkirakan tahun 1900 an yang lalu, bupati Limbangan ( nama kabupaten sebelum menjadi Garut) kala itu RAA Wiratanudatar antara tahun 1870 M sampai dengan 1915 M selalu mengadakan adu maung dan munding setiap lebaran.
Setelah sholat id di masjid agung beliau terus ke pendopo untuk berganti baju kerajaan, lalu dengan menaiki kuda menemui residen di kantor karesidenan kemudian merayakan hari raya idul fitri dengan mengadu maung dan munding.
Maung di simpan di bawah babancong, yang kalau kita lihat saat ini di bawah babancong masih terlihat seperti bentuk kandang. Sedangkan para pembesar berada di atas babancong.
Selanjutnya maung dilepaskan ke alun-alun yang sudah ada munding di tengahnya. Setelah selesai maung kembali di masukkan kedalam kandang, di bawah babancong.
Menurut Pak Edy, saat itu masyarakat melihat adu maung tanpa pellindung pagar pengaman, mereka menonton di sekitar alun-alun dengan membawa tombak, sehingga apabila maung menerjang, tombak siap di tusukkan.
Demikian sekilas tentang babancong garut di alun-alun garut.
No comments:
Post a Comment