Pagi ini sambil menyelam minum air, sambil mengantar istri belanja sambil ke tukang jahit untuk memendekkan celana.
Belakangan ramai pembahasan celana cingkrang,
Ada yang mengaitkan dengan isu teroris, ah menurut saya itu berlebihan.
Tapi tentu tidak menurut mereka yang berasumsi jelek terhadap pemakai celana cingkrang.
Saya kalau bercelana tidak memanjangkan melebihi mata kaki, itu sudah sejak lamaa sekali.
Tapi saya bukan teroris.
Meskipun juga bukan warga terbaik di negeri ini.
Guru ngaji kami menasihatkan, sebagai warga negara yang baik supaya tunduk dan patuh kepada pemerintah yang sah dan berdasarkan UUD 45 dan Pancasila, meskipun guru kami bercelana cingkrang, pun demikian kami para murid.
Duluu ketika ngaji di satu pesantren di daerah Wadungasri, guru saya Gus Wahab. menerangkan, bahwa ulama salaf (bukan kelompok salafi yang sekarang lagi ngetren) dulu kalau sarungan tidak pernah manjangkan sarungnya melebihi mata kaki.
Ketika menerangkan hadits " irfa' izzaroka..."
Dulu ketika saya kecil. Ketika saya memakai sarung sampai kensreh (memanjang) ke tanah, nenek saya, mbok lik kami memanggil, Maslihah namanya, istri ketiga kakek saya, beliau langsung mengingatkan " Nek yaimu sik urip, gak seneng nek ndelok wong sarungan koyo ngunu". Seandainya kakekmu masih hidup dia tidak suka melihat orang sarungan seperti itu, memanjangkan melebihi atau menutupi mata kaki.
Kakek saya adalah pengikut tariqat, saya tidak tahu apa tariqatnya.
Saya lahir kedua kakek saya, dari bapak dan dari emak, keduanya sudah tidak ada.
Sudah meninggalkan alam dunia.
Ketika mbok lik meninggal, di makamkan di sebelah yai Dul, ternyata kain kafannya masih putih.
Ketika bapak saya meninggal di makamkan disana juga, kain kafan Yai Dul masih putih.
Ketika 2014 emak saya meninggal, dikubur dekat yai Dul, kain kafannya juga masih putih, jasadnya masih utuh.
Padahal kakek saya itu pejuang, tapi kalau berpakaian bawah tidak melebihi atau menutupi mata kaki. Penjelasan mbok Lik, mbok Maslihah.
Kakek saya adalah pejuang menurut kami, tapi memang teroris menurut Belanda.
Menurut cerita kakek saya termasuk orang yang ngincipi di buang ke Nusa Kambangan oleh Belanda, tapi tembok penjara tidak mampu menahan kekuatannya, dan berhasil berenang ke pulau jawa untuk kembali ke Surabaya dan bertempur lagi di Surabaya.
Beliau, kalau menurut cerita mbok lik, ya cingkrang celananya.
Paman saya Farhan, putra kedua kakek saya dari istri pertamanya, yai Dul kami memanggil, Abdul Manan nama kakek saya, beliau paman kalau bercelana ya cingkrang tapi dia pejuang.
Pernah beliau cak Han cerita, pas di medan pertempuran ketemu bapaknya, kakek saya, yai Dul, Abdul Manan.
Cak Han, kami memanggilnya, panggilan pendek dari namanya Farhan, beliau di marahi bapaknya, yai Dul kakek saya.
Saat itu juga kesaktian paman, di ambil atau di netralkan yai Dul, sehingga cak Han akhirnya ke pesantren.
Gonta ganti pesantren.
Yai Dul bilang, "wis awakmu gak usah melok perang, muliyo mondok ae ngaji ae".
Sudah kamu gak usah ikut perang, sana pulang saja, mondok saja, ngaji saja.
Keduanya adalah pejuang yang bercelana cingkrang, yang tidak melebihi atau menutupi mata kaki.
Dan dari keduanya saya niru, serta didasari keyakinan akan sebuah dalil, celana saya cingkrang, tapi saya bukan teroris.
Saya fikir terlalu terburu-buru melabeli orang bercelana cingkrang sebagai kelompok radikalis.
Yang melabelipun belum tentu termasuk mereka yang memperjuangkan dan merebut kemerdekaan Republik Indonesia dari penjajah, seperti kakek dan paman saya yang pejuang bercelana cingkrang.
Hendaknya mereka memberi ciri yang lebih spesifik kepada radikalis, daripada hanya melabeli celana cingkrang.
Bapak saya H Nursalim, meskipun tidak cingkrang, tapu celananya tidak sampai kensreh ke tanah, tapi beliau adalah pejuang.
Meskipun tidak pernah mau mengurus minta pensiun sebagai veteran, karena perang kemerdekaan bagi mereka adalah panggilan Jihad, panggilan suci. Sudah kewajiban setiap warga negara untuk membela memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia, tapi celana kami cingkrang.
Karena bercelana di atas mata kaki adalah keyakinan, keyakinan yang seharusnya di hormati sebagaimana orang menghormati yang tidak cingkrang.
Bapak pernah cerita, beliau dulu punya kartu anggota bergambar tumpeng.
Tugasnya adalah membunuh Belanda yang bersenjata.
Lalu senjata diambil di taruh di suatu tempat dan tempat itu di beri tanda.
Nanti pejuang lain yang akan mengambil sejata itu untuk dipakai berjuang melawan Belanda.
Orang tua kami adalah pejuang yang bercelana cingkrang.
Didepan tukang jahit, ada toko laken sederhana.
Barang impor kwalitas bagus, harga juga bagus tentunya.
Mulai ratusan ribu hingga jutaan rupiah harga untuk topi.
Sempat mencoba, njajal makai ternyata gagah juga, tapi tidak sempat selfie.
Laken yang jejer itu harganya di atas tiga ratus ribu.
Menurut saya itu mahal, tapi tidak kata penjual, tidak mahal untuk sebuah gengsi.
Kata pelapak, harga segitu masih ada yang membeli di sini.
Bahkan yang seharga di atas dua juta rupiah, laku di sini, di pasar Andir Bayongbong Garut.
Garut kan tempat adu domba, tempat domba cantik yang tentunya gengsi pemilik domba akan semakin naik dengan laken itu.
Orang akan mengetahui gengsi pemilik domba dari laken itu.
Garut 26112019
No comments:
Post a Comment