Ceritanya beberapa atau tiga bulan yang lalu.
Karena ngantuk akhirnya mampir di rest area, gak usah di sebut ya takut kena UU ITE.
Waktu itu perjalanan arah ke Bandung dari Cikampek.
Istirahat sejenak sambil ngopi dan makan mi rebus.
Setelah selesai dan cukup segar, nanya ke ibu penjual, berapa bu? pas di jawab berapanya, membuat saya mikir, kok larang ya.
Saya coba kros chek, mi berapa bu sepiring.
"20 ribu pak sewa tempatnya mahal".
Ya tetap saya bayar sambil mikir, kok larang temen ya, mi yang sama-sama kita tahu berapa harga sebungkusnya di luar sana, di tempat ini hanya di tambah dua lembar daun sawi jadi 20 rebu, kopi saset yang juga kita tahu berapa harganya di luar sana, di tempat ini jadi 10 rebu.
Saya memilih warung itu karena disainnya/gayanya seperti warung wong cilik, di pinggir-pinggir jalan, ya karena banyaklah pertimbangan, pas mbayar kok bikin njingkat.
Semalam saya masuk rest area lagi, perjalanan arah Bandung dari Cikampek.
Rest area yang lain.
Coba masuk rumah makan yang keren, ada mi gosongnya ðŸ¤ðŸ¤ðŸ¤, mi arang kata penjualnya.
Di buburi/di awuri/di taburi potongan ayam, ada daun sawinya ada sambel balinya.
Pelayan keren, pake android waktu menulis pesanan, pelayannya dandanannya keren, ruangan ber AC, bersih rapih bisa nonton tipi.
Sebelum pesanan datang sudah di kasih lembar kertas, tertulis harga 35 ribu mi gosong hehe 😀😀😀 semangkuk, jelas dan transparan.
Boleh di bayar sekarang atau namti pak.
Ok nanti aja sesudah makan, makasih ya.
Semalam dadi mikir, kok yang keren bersih rapih lebih jujur dan transparan dari pada yang terkesan warung wong cilik ya?
Artinya kalau merasa kemahalan kan bisa di kensel, soalnya di kasih tahu dulu harganya dengan pelayanan yang ramah dan sopan.
Sedang di tempat yang sebelumnya dengan pelayanan seadanya, dengan makanan yang sama-sama di ketahui harga di luar sana, mbayarnya pas sudah di makan, bikin njingkat harganya.
No comments:
Post a Comment